Legenda kerajaan sunda dan padjadjaran - KAWASEN POST

Breaking

KAWASEN POST

MENGINFORMASIKAN | MENYAJIKAN | MEMBERI MANFAAT

Tuesday, November 21, 2017

Legenda kerajaan sunda dan padjadjaran

Sejarah berdirinya Kerajaan Sunda dan Pajajaran diperkirakan sejaman dengan kekuasaan Airlangga dari Jawa Timur. Sumber sejarah kerajaan Sunda terukir pada prasasti Sanghyang Tapak, berhuruf Kawi bertahun 952 Saka (1050 M). Prasasti ini ditemukan di daerah Citatih, Cibadak, Sukabumi. 

Pada prasasti Sanghyang Tapak diceritakan bahwa kerajaan Sunda dipimpin oleh seorang raja yang bernama Maharaja Jayabhupati dengan gelar Sri Jayabhupati Jayamanahen Wishnumurti Samarawijaya Sakalabhuwana Mandala Weswaranindita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa

Pada masa ini pusat pemerintahan dipindahkan dari Pakuan ke Kawali, Ciamis. Selain itu, di prasasti disebutkan bahwa sang raja beragama Waisnawa (Hindu-Wisnu). Adapun sumber berita Kerajaan Pajajaran banyak dimuat dalam kidung atau babad seperti Kidung Sundayana, Sunda, Pararaton, Carita Parahiyangan, Babad Galuh dan Babad Pajajaran. Selain itu, sumber informasi terkait kerajaan ini juga dimuat dalam Prasasti Batutulis dan Prasasti Kebantenan yang ditulis menggunakan bahasa Sunda Kuno. Prasasti ini dianggap sebagai awal berdirinya Pajajaran.  Baca juga legenda cerita ciung wanara

Selain itu, ada pula yang beranggapan prasasti ini dibuat pada masa Prabu Surawisesa yang berisi penghormatan terhadap jasa-jasa yang telah dibuat oleh ayahnya, Prabu Ratu Purana. Adapun mengenai tahun berdirinya, ada pula yang menyebutkan 1225 Saka (1335 M), ada juga yang berpendapat 1445 Saka (1533 M). Hingga saat ini, tidak diketahui secara pasti terkait nama raja-rajanya dan waktu berdirinya kerajaan ini.

Selain itu, raja−raja yang diketahui pernah memerintah Kerajaan Pajajaran adalah Maharaja Jayabhupati, Rahyang Niskala Wastu Kencana, Rahyang Dewa Niskala, Sri Baduga Maharaja, Hyang Wuni Sora, Prabu Surawisesa (catatan Portugis menulisnya Samian, mungkin ucapan tak sempurna dari Sanghyang) dan Prabu Ratu Dewata.

Raja Pajajaran yang lainnya adalah Prabu Surawisesa. Dalam catatan sejarah disebutkan bahwa Ratu Samian pernah berkunjung ke Malaka untuk meminta bantuan Portugis dalam rangka menghadapi Demak yang ingin menguasai Sunda Kepala. Akan tetapi, Sunda Kelapa sebagai pelabuhan utama Pajajaran (konon lebih ramai dari pelabuhan Banten dan Cirebon) akhirnya jatuh ke tangan pasukan Demak pimpinan Fatahillah (Faletehan atau Fadillah Khan yang merupakan menantu Sunan Gunung Jati). Ratu Samian digantikan oleh Prabu Ratu Dewata. Nah, pada masa pemerintahan Ratu Dewata, 

Kerajaan Pajajaran banyak mendapat serangan dari Kerajaan Banten yang dipimpin Maulana Hasanuddin. Pada akhirnya, Pajajaran runtuh dan wilayahnya dikuasai Banten.

Runtuhnya Kekuasaan Pajajaran di Tanah Sunda

Kekuasaan kerajaan Pajajaran mulai menurun ketika pengaruh Islam masuk ke pulau Jawa. Secara de facto, keruntuhan kerajaan disebabkan oleh kalahnya Pajajaran dari serangan pasukan kerajaan Banten yang dipimpin oleh Maulana Yusuf pada tahun 1579.

Masuknya pengaruh Islam di Pesisir Banten
Setelah adanya persekutuan antara Kesultanan Demak dan Cirebon, ajaran Islam mulai masuk ke bumi Parahyangan. Hal ini menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi Jaya Dewata. Ia kemudian membatasi masuknya pedagang Muslim di pelabuhan-pelabuhan Kerajaan Sunda agar kontak dengan pribumi dan masuknya pengaruh Islam bisa diminimalisasi.

Walaupun di batasi, pengaruh Islam ternyata jauh lebih kuat. Pajajaran pun memutuskan menjalin koalisi dengan Portugis untuk mengimbangi pasukan kesultanan Demak & Cirebon. Pajajaran memberikan kesempatan perdagangan bebas di pelabuhan-pelabuhan kerajaan Sunda dengan imbalan bantuan militer apabila Kesultanan Demak & Cirebon menyerang Pajajaran.
Kekuasaan Pajajaran Jatuh ke Tangan Kesultanan Banten

Pada tahun 1524, pasukan gabungan Demak dan Cirebon yang dipimpin oleh Sunan Gunung Jati mendarat di Banten. Ajaran islam yang disampaikan para pendatang berhasil menarik simpati masyarakat, termasuk penduduk pedalaman Wahenten Girang.

Sunan Gunung Jati pun memberi petunjuk kepada anaknya—Maulana Hasanuddin—untuk membangun pusat pemerintahan di wahanen Girang dan membangun kota pesisir, sehingga terbentuklah Kerajaan Banten. Pada tahun 1570, Maulana Yusuf naik tahta menjadi raja Banten menggantikan ayahnya Maulana Hasanuddin. Dia kemudian melanjutkan ekspansinya ke pedalaman Sunda dan berhasil menaklukkan Pakuan Pajajaran.

Pada tahun 1527, pelabuhan terbesar Sunda Kelapa jatuh ke tangan pasukan Islam. Hal ini menyebabkan terputusnya hubungan antara Pajajaran dengan Portugis dan semakin melemahkan pertahanan kerajaan Sunda.
Pemerintahan juga berjalan tidak baik. Prabu Ratu Dewata (1535–1543)  lebih fokus sebagai pendeta sehingga rakyatnya terabaikan. Penggantinya Ratu Sakti (1543–1551) gemar bermain wanita, dan Raja Mulya (1567–1579) suka berfoya-foya dan mabuk mabukan. Akhirnya kerajaan Pajajaran pun tidak terselamatkan.

Maulana Yusuf kemudian menjadi penerus kekuasaan Sunda yang sah. Hal ini semakin diperkuat dengan fakta bahwa jika diurutkan garis keturunannya, dia merupakan cicit dari Sri Baduga Maharaja, raja pertama Pajajaran. Setelah dikalahkan oleh Banten, sejumlah punggawa istana mengungsi  dan menetap di daerah Lebak.  Mereka hidup di pedalaman dan berusaha mempertahankan tata cara kehidupan mandala yang ketat. Kelompok masyarakat tersebut masih ada hingga saat ini dan dikenal sebagai suku Baduy.
Sejarah Kerajaan Pajajaran

Pajajaran merupakan nama ibu kota Kerajaan Sunda Galuh (1030-1579) yang kekuasaannya membentang dari ujung Banten hingga wilayah barat Jawa Tengah. Adapun lokasi ibu kota ini terletak di Pakuan (sekarang disebut Bogor). Sudah menjadi kebiasaan di masa lalu bahwa nama ibu kota kerajaan kerap dijadikan sebutan untuk nama kerajaan.
Asal Mula Kerajaan Pajajaran

Pajajaran sejatinya adalah kerajaan yang berdiri pada tahun 1482. Terbentuknya kerajaan ini diawali dengan pecahnya kerajaan Galuh setelah wafatnya Mahaputra Niskala Wastu Kencana—raja ke-27—dan dibaginya kerajaan tersebut kepada dua anaknya, Susuktunggal dan Dewa Niskala.
Susuktunggal dipercaya untuk memerintah Kerajaan Sunda yang berpusat di Pakuan/Pajajaran, sedangkan Dewa Niskala memerintah Kerajaan Galuh yang berpusat di Kawali. Kedua kerajaan ini memiliki derajat dan kedudukan yang sama sebagai kerajaan Sunda-Galuh.

Konflik terjadi tatkala Dewa Niskala menerima pengungsi Majapahit, yang merupakan anggota keluarga, punggawa kerajaan, serta sejumlah penduduk dari masa kekaisaran Prabu Kertabumi, dan menikahi salah satu dari mereka.

Hal ini memicu ketegangan di antara kerajaan Sunda dan Galuh, karena sejak peristiwa Bubat—perang antara Kerajaan Pasundan dengan Majapahit pada tahun 1357—telah ditetapkan peraturan bahwa keturunan Sunda Galuh tidak diperkenankan menikah dengan keturunan Majapahit. 

Walaupun pada akhirnya perselisihan ini dapat ditengahi oleh para penasihat kerajaan, namun kedua raja tersebut harus turun tahta dan digantikan oleh Jayadewata atau Prabu Siliwangi yang merupakan putra Dewa Niskala dan Menantu Susuktunggal.Dengan bergelar Sri Baduga Maharaja, Jayadewata kemudian menyatukan kembali kerajaan Sunda-Galuh dan memberinya nama Kerajaan Pajajaran.

Dalam perjalanannya, pemerintahan Pajajaran dipusatkan di Pakuan. Namun demikian wilayah kerajaan Galuh tetap memiliki pemimpin—setara raja—yang diutus langsung oleh Raja Pajajaran.Adapun setelah pindahnya Raja Pajajaran ke Pakuan, pemerintahan di Galuh Kawali dipimpin oleh Prabu Ningratwangi  (1428 – 1501) mewakili kakaknya Sri baduga Maharaja. Selanjutnya pada periode 1501-1528, pemerintahan Galuh dipimpin oleh Prabu Jayaningrat. Dia merupakan Ratu Galuh terakhir sebelum akhirnya kerajaan tersebut ditaklukkan oleh Kesultanan Cirebon. Baca juga legenda cerita ciung wanara