Sejarah berdirinya Kerajaan Sunda dan Pajajaran
diperkirakan sejaman dengan kekuasaan Airlangga dari Jawa Timur. Sumber
sejarah kerajaan Sunda terukir pada prasasti Sanghyang Tapak, berhuruf
Kawi bertahun 952 Saka (1050 M). Prasasti ini ditemukan di daerah
Citatih, Cibadak, Sukabumi.
Pada prasasti Sanghyang Tapak diceritakan bahwa kerajaan Sunda dipimpin oleh seorang raja yang bernama Maharaja Jayabhupati dengan gelar Sri Jayabhupati Jayamanahen Wishnumurti Samarawijaya Sakalabhuwana Mandala Weswaranindita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa.
Pada masa ini pusat pemerintahan dipindahkan dari Pakuan ke Kawali,
Ciamis. Selain itu, di prasasti disebutkan bahwa sang raja beragama
Waisnawa (Hindu-Wisnu). Adapun sumber berita Kerajaan Pajajaran banyak dimuat dalam
kidung atau babad seperti Kidung Sundayana, Sunda, Pararaton, Carita
Parahiyangan, Babad Galuh dan Babad Pajajaran. Selain itu, sumber
informasi terkait kerajaan ini juga dimuat dalam Prasasti Batutulis dan
Prasasti Kebantenan yang ditulis menggunakan bahasa Sunda Kuno. Prasasti
ini dianggap sebagai awal berdirinya Pajajaran. Baca juga legenda cerita ciung wanara
Selain itu, ada pula
yang beranggapan prasasti ini dibuat pada masa Prabu Surawisesa yang
berisi penghormatan terhadap jasa-jasa yang telah dibuat oleh ayahnya,
Prabu Ratu Purana. Adapun mengenai tahun berdirinya, ada pula yang
menyebutkan 1225 Saka (1335 M), ada juga yang berpendapat 1445 Saka
(1533 M). Hingga saat ini, tidak diketahui secara pasti terkait nama
raja-rajanya dan waktu berdirinya kerajaan ini.
Selain itu, raja−raja yang diketahui pernah memerintah Kerajaan
Pajajaran adalah Maharaja Jayabhupati, Rahyang Niskala Wastu Kencana,
Rahyang Dewa Niskala, Sri Baduga Maharaja, Hyang Wuni Sora, Prabu
Surawisesa (catatan Portugis menulisnya Samian, mungkin ucapan tak
sempurna dari Sanghyang) dan Prabu Ratu Dewata.
Raja Pajajaran yang lainnya adalah Prabu Surawisesa. Dalam catatan
sejarah disebutkan bahwa Ratu Samian pernah berkunjung ke Malaka untuk
meminta bantuan Portugis dalam rangka menghadapi Demak yang ingin
menguasai Sunda Kepala. Akan tetapi, Sunda Kelapa sebagai pelabuhan
utama Pajajaran (konon lebih ramai dari pelabuhan Banten dan Cirebon)
akhirnya jatuh ke tangan pasukan Demak pimpinan Fatahillah (Faletehan
atau Fadillah Khan yang merupakan menantu Sunan Gunung Jati). Ratu
Samian digantikan oleh Prabu Ratu Dewata. Nah, pada masa pemerintahan
Ratu Dewata,
Kerajaan Pajajaran banyak mendapat serangan dari Kerajaan
Banten yang dipimpin Maulana Hasanuddin. Pada akhirnya, Pajajaran runtuh
dan wilayahnya dikuasai Banten.
Runtuhnya Kekuasaan Pajajaran di Tanah Sunda
Kekuasaan kerajaan Pajajaran mulai menurun ketika pengaruh Islam masuk ke pulau Jawa. Secara de facto, keruntuhan kerajaan disebabkan oleh
kalahnya Pajajaran dari serangan pasukan kerajaan Banten yang dipimpin
oleh Maulana Yusuf pada tahun 1579.
Masuknya pengaruh Islam di Pesisir Banten
Setelah adanya persekutuan antara Kesultanan Demak dan Cirebon, ajaran
Islam mulai masuk ke bumi Parahyangan. Hal ini menimbulkan kekhawatiran
tersendiri bagi Jaya Dewata. Ia kemudian membatasi masuknya pedagang
Muslim di pelabuhan-pelabuhan Kerajaan Sunda agar kontak dengan pribumi
dan masuknya pengaruh Islam bisa diminimalisasi.
Walaupun di batasi, pengaruh Islam ternyata jauh lebih kuat. Pajajaran
pun memutuskan menjalin koalisi dengan Portugis untuk mengimbangi
pasukan kesultanan Demak & Cirebon. Pajajaran memberikan kesempatan perdagangan bebas di pelabuhan-pelabuhan
kerajaan Sunda dengan imbalan bantuan militer apabila Kesultanan Demak
& Cirebon menyerang Pajajaran.
Kekuasaan Pajajaran Jatuh ke Tangan Kesultanan Banten
Pada tahun 1524, pasukan gabungan Demak dan Cirebon yang dipimpin oleh
Sunan Gunung Jati mendarat di Banten. Ajaran islam yang disampaikan para
pendatang berhasil menarik simpati masyarakat, termasuk penduduk
pedalaman Wahenten Girang.
Sunan Gunung Jati pun memberi petunjuk kepada anaknya—Maulana
Hasanuddin—untuk membangun pusat pemerintahan di wahanen Girang dan
membangun kota pesisir, sehingga terbentuklah Kerajaan Banten. Pada tahun 1570, Maulana Yusuf naik tahta menjadi raja Banten
menggantikan ayahnya Maulana Hasanuddin. Dia kemudian melanjutkan
ekspansinya ke pedalaman Sunda dan berhasil menaklukkan Pakuan
Pajajaran.
Pada tahun 1527, pelabuhan terbesar Sunda Kelapa jatuh ke tangan pasukan
Islam. Hal ini menyebabkan terputusnya hubungan antara Pajajaran dengan
Portugis dan semakin melemahkan pertahanan kerajaan Sunda.
Pemerintahan juga berjalan tidak baik. Prabu Ratu Dewata (1535–1543)
lebih fokus sebagai pendeta sehingga rakyatnya terabaikan. Penggantinya
Ratu Sakti (1543–1551) gemar bermain wanita, dan Raja Mulya (1567–1579)
suka berfoya-foya dan mabuk mabukan. Akhirnya kerajaan Pajajaran pun
tidak terselamatkan.
Maulana Yusuf kemudian menjadi penerus kekuasaan Sunda yang sah. Hal ini
semakin diperkuat dengan fakta bahwa jika diurutkan garis keturunannya,
dia merupakan cicit dari Sri Baduga Maharaja, raja pertama Pajajaran. Setelah dikalahkan oleh Banten, sejumlah punggawa istana mengungsi dan
menetap di daerah Lebak. Mereka hidup di pedalaman dan berusaha
mempertahankan tata cara kehidupan mandala yang ketat. Kelompok
masyarakat tersebut masih ada hingga saat ini dan dikenal sebagai suku
Baduy.
Sejarah Kerajaan Pajajaran
Pajajaran merupakan nama ibu kota Kerajaan Sunda Galuh (1030-1579) yang
kekuasaannya membentang dari ujung Banten hingga wilayah barat Jawa
Tengah. Adapun lokasi ibu kota ini terletak di Pakuan (sekarang disebut
Bogor). Sudah menjadi kebiasaan di masa lalu bahwa nama ibu kota
kerajaan kerap dijadikan sebutan untuk nama kerajaan.
Asal Mula Kerajaan Pajajaran
Pajajaran sejatinya adalah kerajaan yang berdiri pada tahun 1482.
Terbentuknya kerajaan ini diawali dengan pecahnya kerajaan Galuh setelah
wafatnya Mahaputra Niskala Wastu Kencana—raja ke-27—dan dibaginya
kerajaan tersebut kepada dua anaknya, Susuktunggal dan Dewa Niskala.
Susuktunggal dipercaya untuk memerintah Kerajaan Sunda yang berpusat di
Pakuan/Pajajaran, sedangkan Dewa Niskala memerintah Kerajaan Galuh yang
berpusat di Kawali. Kedua kerajaan ini memiliki derajat dan kedudukan
yang sama sebagai kerajaan Sunda-Galuh.
Konflik terjadi tatkala Dewa Niskala menerima pengungsi Majapahit, yang
merupakan anggota keluarga, punggawa kerajaan, serta sejumlah penduduk
dari masa kekaisaran Prabu Kertabumi, dan menikahi salah satu dari
mereka.
Hal ini memicu ketegangan di antara kerajaan Sunda dan Galuh, karena
sejak peristiwa Bubat—perang antara Kerajaan Pasundan dengan Majapahit
pada tahun 1357—telah ditetapkan peraturan bahwa keturunan Sunda Galuh
tidak diperkenankan menikah dengan keturunan Majapahit.
Walaupun pada akhirnya perselisihan ini dapat ditengahi oleh para
penasihat kerajaan, namun kedua raja tersebut harus turun tahta dan
digantikan oleh Jayadewata atau Prabu Siliwangi yang merupakan putra
Dewa Niskala dan Menantu Susuktunggal.Dengan bergelar Sri Baduga Maharaja, Jayadewata kemudian menyatukan
kembali kerajaan Sunda-Galuh dan memberinya nama Kerajaan Pajajaran.
Dalam perjalanannya, pemerintahan Pajajaran dipusatkan di Pakuan. Namun
demikian wilayah kerajaan Galuh tetap memiliki pemimpin—setara raja—yang
diutus langsung oleh Raja Pajajaran.Adapun setelah pindahnya Raja Pajajaran ke Pakuan, pemerintahan di Galuh
Kawali dipimpin oleh Prabu Ningratwangi (1428 – 1501) mewakili
kakaknya Sri baduga Maharaja. Selanjutnya pada periode 1501-1528, pemerintahan Galuh dipimpin oleh
Prabu Jayaningrat. Dia merupakan Ratu Galuh terakhir sebelum akhirnya
kerajaan tersebut ditaklukkan oleh Kesultanan Cirebon. Baca juga legenda cerita ciung wanara